Anggaran KIP-K Dipangkas, Akses Pendidikan Terancam
BICARA OPINI - Kebijakan pemangkasan anggaran Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) oleh pemerintah menjadi ancaman serius bagi akses pendidikan tinggi di Indonesia. Program yang selama ini menjadi penyelamat bagi mahasiswa dari keluarga prasejahtera kini justru dipangkas dengan alasan efisiensi anggaran. Sekitar 663.821 hingga 844.174 mahasiswa penerima KIP-K terancam kehilangan pendanaan pada tahun 2025, sementara pendaftaran baru bagi mahasiswa penerima beasiswa ini dipastikan tidak akan dibuka.
Kebijakan ini tidak hanya mengancam keberlangsungan pendidikan ribuan mahasiswa, tetapi juga bertentangan dengan amanat konstitusi. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, sementara ayat (4) mewajibkan negara untuk mengalokasikan setidaknya 20% APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Pemangkasan anggaran ini menjadi ironi ketika pemerintah justru mengalihkan dana ke sektor lain yang tidak bersinggungan langsung dengan hak dasar rakyat.
Pencabutan KIP-K berpotensi menyebabkan gelombang putus kuliah massal, yang tidak hanya berdampak pada individu mahasiswa, tetapi juga pada pembangunan sumber daya manusia nasional. Berdasarkan laporan BPS tahun 2023, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 31,45%, jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia (43,3%) dan Thailand (49,3%). Dengan dihilangkannya beasiswa KIP-K, angka ini dipastikan akan semakin menurun, memperlebar ketimpangan akses pendidikan antara kelompok ekonomi atas dan bawah.
Selain itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja pendidikan pada APBN 2023 mencapai Rp612,2 triliun, dengan sebagian besar dialokasikan untuk gaji tenaga pendidik dan infrastruktur, bukan untuk bantuan pendidikan langsung seperti KIP-K. Jika alasan efisiensi digunakan, mengapa bukan pengeluaran non-esensial yang dipangkas terlebih dahulu?
Retorika pemerintah mengenai pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa menjadi kontradiktif dengan kebijakan ini. Pemerintah selalu berbicara tentang "Indonesia Emas 2045", tetapi bagaimana visi ini bisa terwujud jika akses pendidikan semakin dipersempit? Bukankah ini justru menciptakan generasi yang terhambat hanya karena keterbatasan ekonomi?
Lebih jauh, pemangkasan ini juga memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu akan semakin sulit bersaing, sementara kelompok ekonomi menengah ke atas tetap memiliki akses yang luas terhadap pendidikan tinggi. Jika pemerintah serius ingin mengatasi kemiskinan, maka pendidikan harus diperkuat, bukan justru dipersulit.
Saya dengan tegas menolak kebijakan pemangkasan anggaran KIP-K yang hanya akan memperburuk kondisi pendidikan di Indonesia. Pemerintah harus segera:
1. Membatalkan kebijakan pemangkasan KIP-K dan menjamin keberlanjutan beasiswa bagi mahasiswa yang sudah menerima bantuan.
2. Meninjau ulang alokasi APBN agar efisiensi dilakukan pada sektor yang tidak berdampak langsung terhadap hak dasar masyarakat.
3. Memperkuat regulasi yang memastikan dana pendidikan tidak dijadikan objek efisiensi yang merugikan mahasiswa kurang mampu.
Kebijakan ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan negara, tetapi menyangkut masa depan generasi muda Indonesia. Jika akses pendidikan semakin dipersempit, maka kita sedang menghadapi ancaman nyata terhadap pembangunan bangsa. Saya menyerukan kepada seluruh mahasiswa, akademisi, dan masyarakat untuk bersuara dan menolak kebijakan ini. Jangan biarkan pendidikan menjadi hak istimewa bagi segelintir orang, sementara ribuan mahasiswa lainnya harus mengubur impian mereka karena ketidakadilan sistem.
Adjie Pramana Sukma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
Facebook @bicarajambidotcom
Twitter/X @bicarajambidotcom
Instagram @bicarajambidotcom
Tiktok @bicarajambicom
Youtube @bicarajambidotcom